Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan yang belakangan menjadi perhatian pelaku usaha dan pelaku industri musik tanah air: kekhawatiran terhadap kewajiban pembayaran royalti atas pemutaran lagu Indonesia di ruang-ruang publik, khususnya kafe dan tempat usaha.
Dalam pernyataan resminya, Fadli menyoroti adanya fenomena sejumlah pemilik usaha seperti restoran, kafe, dan pusat perbelanjaan yang enggan memutar lagu-lagu dalam negeri karena khawatir akan konsekuensi hukum terkait hak cipta. Menurutnya, kondisi ini mencerminkan adanya kesalahpahaman serta belum tersosialisasikannya regulasi dengan baik kepada publik.
“Nanti kita benahi supaya ada jalan keluar yang win-win solution, karena memang ada kesalahpahaman dan ketakutan semacam itu,” ujar Fadli Zon dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (1/8).
Lagu Lokal Tak Terdengar di Negeri Sendiri
Fenomena enggannya pelaku usaha memutar lagu Indonesia bukanlah hal baru. Beberapa pengusaha mengaku lebih memilih memutar musik instrumental atau lagu-lagu internasional yang masuk kategori domain publik untuk menghindari tuntutan pembayaran royalti. Hal ini justru berpotensi menurunkan eksistensi lagu-lagu karya anak bangsa di ruang publik.
Kondisi ini tentu mengkhawatirkan, apalagi di tengah upaya pemerintah mendorong industri kreatif, termasuk musik, sebagai sektor unggulan ekonomi nasional. Musik Indonesia, yang kaya ragam dan budaya, justru kehilangan panggung di negeri sendiri karena ketidakjelasan sistem perlindungan dan pemanfaatan hak cipta.
“Kami berharap lagu-lagu Indonesia semakin semarak, tinggal bagaimana caranya nanti kita harus duduk bersama. Karena ini melibatkan lintas kementerian dan lembaga, khususnya terkait hak cipta dan hak kekayaan intelektual (HAKI),” jelas Fadli.
Lintas Kementerian: Bukan Tanggung Jawab Tunggal
Fadli menegaskan bahwa masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh Kementerian Kebudayaan. Menurutnya, koordinasi harus melibatkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai pemegang otoritas dalam perlindungan hak cipta dan kekayaan intelektual di Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) juga diharapkan terlibat aktif, mengingat sebagian persoalan muncul dari mekanisme penarikan royalti yang belum transparan serta lemahnya edukasi kepada pengguna musik di sektor usaha.
“Kami di Kementerian Kebudayaan akan segera menginisiasi koordinasi lintas sektor. Kita akan cari jalan keluar yang adil bagi semua pihak—baik musisi maupun pelaku usaha,” lanjutnya.
Menyeimbangkan Hak Pencipta dan Kepentingan Usaha
Permasalahan ini berkutat pada keseimbangan antara penghormatan terhadap hak cipta musisi dan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memang mengatur bahwa penggunaan karya musik di ruang publik untuk kepentingan komersial wajib membayar royalti. Namun, mekanisme implementasinya kerap menimbulkan kebingungan.
Banyak pengusaha mengeluhkan proses penagihan royalti yang tidak jelas, nominal yang tidak proporsional, hingga ketiadaan sosialisasi yang memadai. Sementara di sisi lain, para pencipta lagu dan musisi menuntut perlindungan hukum atas karya mereka yang digunakan untuk mendukung kegiatan bisnis.
“Kami tidak menolak royalti, tapi harus transparan. Jangan sampai musik malah dianggap beban oleh pelaku usaha,” ujar Rizal, pemilik kafe di Yogyakarta yang diwawancarai secara terpisah.
Perlu Reformasi Sistem Royalti dan Sosialisasi Publik
Pakar hukum kekayaan intelektual dari Universitas Indonesia, Dr. Lusi Andayani, menilai bahwa solusi jangka panjang dari persoalan ini adalah pembenahan sistem manajemen royalti secara digital dan transparan.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan sistem terintegrasi berbasis teknologi yang memungkinkan pelaku usaha mendaftarkan penggunaan musik secara daring, serta dapat melihat estimasi tarif secara terbuka dan adil.
“Royalti itu penting dan wajib, tapi jangan sampai jadi momok. Harus ada sistem akuntabel yang bisa dipercaya semua pihak,” tegasnya.
Ia juga mendorong pemerintah untuk melakukan edukasi publik secara massif, termasuk dengan menyediakan pedoman teknis untuk pelaku usaha, lengkap dengan klasifikasi tarif berdasarkan kapasitas ruang usaha, jenis musik, dan frekuensi pemutaran.
Solusi Potensial: Paket Musik UMKM dan Lisensi Kolektif Terjangkau
Beberapa negara telah menerapkan sistem lisensi kolektif yang terjangkau untuk pelaku usaha kecil dan menengah, termasuk kafe dan restoran. Pemerintah Indonesia juga didorong untuk menerapkan skema serupa, yang disebut “music licensing for SMEs”, agar musik lokal tetap terdengar tanpa membebani sektor usaha.
Fadli Zon membuka peluang untuk menghadirkan skema ini, sembari mengajak para pelaku usaha, asosiasi musisi, dan LMK duduk bersama dalam forum musyawarah nasional yang akan segera digelar dalam waktu dekat.
“Kita akan rumuskan bersama. Musik harus jadi perekat, bukan pemisah. Ini soal budaya, industri, dan hak,” kata Fadli menutup pernyataannya.